Nilai-Nilai Budaya Perkawinan pada Masyarakat Kampung Pakoran
Kampung Pakoran adalah sebuah kampung yang berada di desa Langkap, kecamatan Burneh, kabupaten Bangkalan, letak kampung ini kurang lebih sekitar 500 meter dari kantor camat Burneh, dikampung ini dihuni sekitar 40 kepala keluarga, mayoritas penduduknya adalah beragama Islam, sehingga hukum adat yang berkembang dan berlaku adalah yang sesuai dengan syari’at Islam (teori receptio in complexu menurut Salmon Keyzer dan C.F. Winter dikembangkan oleh van Den Berg (dalam Soepomo, 2000), bahwa hukum agama diterima secara menyeluruh sebagai dasar dari hukum adat yang berlaku). Konsekuensi yuridis dalam hukum perkawinan di dalam masyarakat pakoran ini di utamakan menurut tata cara Islami. Hal menarik dari masyarakat kampung Pakoran ini bahwa masyarakat yang ada di kampung ini kesemuanya diperkirakan keturunan dari ulama besar yang kemudian oleh masyarakat kampung Pakoran ini makamnya di sebut sebagai bujuk yang bernama Nur Bayan, sehingga baru bisa disebut sebagai anggota masyarakat kampung Pakoran yang asli haruslah keturunan Nur Bayan.
Ada ketentuan yang tidak mengikat secara permanen tetapi sangat dianjurkan, agar tetap disebut sebagai masyarakat asli kampung Pakoran bahwa seorang laki-laki sedapat mungkin kawin dengan anak perempuan bibinya (mirip adat perkawinan di daerah Minangkabau), atau gadis yang dapat di golongkan demikian itu. Jadi, pada masyarakat Pakoran terdapat keharusan melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang merupakan anak dari saudara kandung laki-laki ibunya, akan tetapi karena berbagai keadaan, timbul beberapa bentuk lain, misalnya kawin dengan kemenakan perempuan (anak saudara perempuan) dari ayah. Orang juga boleh kawin dengan saudara perempuan suami, atau anak dari saudara perempuannya sendiri. Kebiasaan terakhir tersebut dikenal dengan istilah endogami dimana sebuah perkawinan tersebut dilakukan oleh mempelai berasal dari lingkungan kerabat terdekat dan larangan melakukan perkawinan dengan pihak dari luar clan (Soedarsono, 2005). Hal ini dilakukan demi mempertahankan sebagai keturunan Nur Bayan.
Berbagai pustaka telah menjelaskan soal keterkaitan antara nilai-nilai yang merupakan hasil budaya (kebudayaan) dan hukum adat (pola-pola perilaku). Terbentuknya hukum atau norma menurut paradigma interaksi sosial, tampak bahwa nilai merupakan konsepsi abstrak yang membentuk perilaku dan kemudian membentuk pola-pola tertentu secara mantap terhadap aspek perilaku ini (Soemadiningrat, 2000).
Pemahaman tentang nilai-nilai sosial budaya yang mendasari lahirnya pola perilaku perlu dikemukakan sebab melalui pemahaman tentang nilai itulah akan memberikan pemahaman tentang apa yang menjadi dasar individu dan kelompok masyarakat itu melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sutan Takdir Alisjahbana (Soekanto, 2001) mengemukakan bahwa kebudayaan itu merupakan penjelmaan budi manusia yang selalu tersusun dalam suatu pola atau konfigurasi nilai-nilai. Bila dicermati pada suatu kelompok masyarakat, akan tampak walaupun sifat-sifat individu berbeda-beda, para warga keseluruhannya akan memberikan reaksi yang sama terhadap gejala-gejala tertentu. Menurut TO Ihromi (Masinambow, 2000) reaksi yang menggambarkan suatu sikap hidup yang sama dalam menanggapi suatu gejala atau persoalan dan menjadi milik bersama dalam antropologi disebut kebudayaan. Dengan cara pandang seperti itu, menyebut budaya hukum maksudnya adalah tanggapan umum yang sama dari suatu masyarakat maksudnya terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi, suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilakau individu sebagai angota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat yang bersangkutan.
Salmon Keyzer dan C. F. Winter (dalam Soepomo : 2000) seorang guru besar di Delf dan sekretaris pada Koninklijk Instituut voor Taal Lan In Volkerkunde van Nederland Indie adalah orang pertama yang mengemukakan teori receptio in complexu. Pendapat mereka kemudian diikuti dan dikembangkan oleh L.W.C van Den Berg yang intinya menyatakan :
Receptio in complexu oleh bangsa Hindu dari hukum Hindu, oleh kaum Islam dari hukum Islam, oleh kaum Kristen dari hukum Kristen. Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk sesuatu agama, harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia. Jika dapat dibuktikan bahwa satu atau beberapa bagian, adat-adat seutuhnya atau bagian-bagian kecil sebagai kebalikannya, maka terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam hukum agama itu, dan bahwa penyusun ajaran itu mau mengakui bukti penyangkal itu adalah suatu tanda, bahwa ia telah mempunyai penglihatan serta menghargai setinggi-tingginya kesadaran hukum nasional dari rakyat berkulit sawo dari raja Belanda.
Apa yang dikemukakan dalam teori receptio in complexu di atas bila dicermati, sebetulnya teori ini melihat kemampuan dari hukum agama yang mampu menguasai hukum adat. Jadi, apa pun yang diperbuat seseorang didominasi oleh keyakinan dan dasar keagamaan dan keimanan yang dianutnya. Berdasarkan rumusan demikian, hukum agama telah menutup sama sekali peluang keberlakuan sistem hukum lain.
Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (etnologi) sistem perkawinan dapat dikategorikan atas: (1) eksogami, yaitu seorang pria harus mencari calon istri di luar marga (klan patrilenial) dan dilarang kawin dengan wanita yang berasal dari satu kelompok marga; (2) endogami yaitu seorang pria diharuskan mencari calon istri di dalam lingkungan kerabat (suku, klan, famili) sendiri dan dilarang mencari dari luar lingkungan kerabat; dan (3) eleutherogami yaitu sistem ini cenderung banyak berkembang dan dipertahankan karena dalam sistem ini tidak ada lagi kecenderungan mempertahankan aturan kebolehan dan larangan, tetapi larangan pada batas-batas hubungan keturunan dekat (nasab), periparan (musyaharah) sebagimana ketentuan dalam hukum agama Islam atau hukum perundangan lain yang berlaku (Sudarsono, 2005).
Menurut hukum Islam tersebut pada Qur’an surat An-Nisa’ ayat 23, ada 14 (empat belas) macam perempuan yang tidak boleh dikawin, baik karena pertalian darah atau pertalian semenda, yaitu: bekas istri bapak (ibu tiri), ibu kandung, anak kandung, saudara kandung, saudara bapak, saudara ibu, anak saudara laki-laki, anak saudara perempuan, perempuan yang pernah menyusuinya, saudara sesusu, ibu istrinya (mertua perempuan), anak tiri yang ibunya sudah dicampurinya, istri anak sendiri (menantu perempuan), dan saudara istri jika masih hidup.
Dengan melihat ketentuan di atas pada prinsipnya endogami dibolehkan dalam Islam dengan syarat hubungan darah antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah tidak terlalu dekat atau harus di luar ke empat belas perempuan tersebut dalam Qur’an surat An-Nisa 23.
Secara administratif wilayah desa Langkap terbagi menjadi 9 (sembilan) dusun atau kampung. Pimpinan formal tertinggi sebagai fungsi eksekutifnya adalah seorang kepala desa. Adapun dusun atau kampung yang ada di wilayah desa Langkap tersebut adalah sebagai berikut: Pakoran, Du’ur, Langkap timur, Langkap barat, Tebenah, Kangenan timur, Kangenan barat, Karang Bimas, dan Kampung Agung.




0 komentar:
Posting Komentar