EDELWEIS YANG ABADI
Rambutku yang semakin menipis cenderung dikatakan botak. Sudah 3 hari ayah dan rangga tidak menemaniku. Mereka pergi menyertai sebuah ekspedisi pendakian ke puncak gunung semeru yang dikenal dengan puncak Mahameru.
Perkiraanku alam nanti mereka akan sampai di puncak dan 2 hari lagi aku akan dapat melihat senyum manis Rangga dengan segenggam bunga edelweis.
"rin.... Kamu harus optimis kalau operasimu nanti akan berhasil sehingga kamu nggak akan lagi di kamar ini dan percayalah rin ....kamu akan sembuh dan kamu tak akan pemah lagi menangis karna sakit di kepalamu."
Kata-kata itulah yang membuatku berani memilih operasi ini padahal harapan untuk sembuh hanya 50%. Rangga aku ingin lagi menemanimu dan ayah mendaki ke puncak seperti dulu. Menjadi arini-Mu yang ceria.
Lima tahun yang lalu aku adalah seorang pendaki yang handal. Alam dan udara pegunungan telah menyatu dalam kehidupanku , ayahlah yang telah mengajariku.
Di sana, dikaki gunung Semeru itu ada suatu Tempat yang penuh kenangan.tentang seorang gadis yang ayah cintai, dialah ibuku. Dia meninggal setelah setahun melahirkan aku. Aku yang saat itu belum mengenal cinta merasa salut akan kesetiaan ayah. Di tengah bunga edelweis sebuah cinta suci terikrar, cinta dua orang pendaki muda yang kini menjadi orang tuaku.
Aku tak pemah menyangka, kisah cinta ayah dan ibuku akan aku alami. Sebuah legenda cinta di padang edelweis yang akhirnya menjadi awal kehidupan cintaku.
Tiga tahun yang lalu aku mengenal seseorang, dia bernama Rangga Dwi Juniatiyo. Kita berkenalan, mulai saat itu aku mulai merasakan sebuah rasa sayang yang hangat mengalir dalam hatiku.
Diantara bunga-bunga abadi itu aku bersama rangga beriari-lari dan menari-nari di atas bunga Edelweis bagaikan ratu dan raja, kami sangat bahagia. EDELWEIS ADALAH LAMBANG CINTA KAMI BERDUA
Tiga yang lalu, ayah dan rangga berpamitan padaku. Ketika rangga melepaskan tangannya, ada yang hilang dari hatiku bersama kepergiaannya, sesuatu yang bisa membuatku meneteskan air mata. Seolah olah kepergianmu untuk selamanya rangga, tapi mungkin perasaanku saja. Akupun meminta rangga membawakan bunga edelweis.
Malam ini aku terjaga dari mimpi-mimpiku, ketikaku rasakan sebuah tangan membelai rambutku. Perlahan kubuka mataku, antara sadar dan tidak sadar samar-samarku lihat rangga telah duduk di sampingku sambil menatapku lekat-lekat. Dia membawakanku bunga edelweis, ketikaku genggam kurasakan dingin sekali tangan itu. Dingin seperti es, kemudian kugenggam edelweis yang sedikit basah itu, mungkin karena air hujan. Kuletakkan di meja dekat tempat tidurku. Rangga berpamitan dengan perlahan kurasakan dia mengecup lembut keningku, suatu hal yang tak pernah sekalipun dia lakukan padaku slama ini. Dan....bibirmu dingin sekali seperti tak ada darah yang mengalir. Kulihat wajahmu pucat.
Pagi hari aku terbangun dan kudapati ayah dan teman-teman rangga telah ada di ruangan putih ini tapi diantara mereka tak kutemukan rangga.
"kok sudah datang, kan rencananya masih 2 hari lagi.” kucoba bertanya dan merekapun hanya diam.
"ada apa sih! oh ya rangga mana kok nggak kelihatan” tanyaku.
Tak ada jawaban sama sekali dan mereka semua malah menundukkan kepala, membuatku semakin penasaran, tapi untunglah kemudian ayah membuka pembicaraan
"Rin..tabahkan hatirnu..." dengan perlahan dan hati-hati ayah berbicara, dan kulihat mata ayah basah
"ada apa yah...? katakan apa yang terjadi sebenamya ?
"rangga“
"dia telah tiada semalam sewaktu memetik
bunga edelweis dia terjatuh dan tadi malam dia pergi meninggalkan kita untuk selamanya.”
“Arini…sebelum pergi, Rangga memintaku untuk menyerahkan bunga ini. "Ferdi kemudian mengeluarkan segenggam bunga edelweis dari balik jaketnya dan memberikan kepadaku. Kusamakan dengan edelweis yang diberikan rangga semalam. Tanpa sadar air mata ini membasahi pipi. Aneh ...kedua bunga itu sama. Ada tetes-tetes merah, aku ingat bunga yang diberikan rangga semalam basah dan air yang mernbasahi Edelweis itu adalah darah rangga. Dan kemudian aku tak sadar lagi hanya nyeri yang amat sangat dikepalaku.
Ketikaku tersadar aku tak lagi berada di ruangan serba putih itu, melainkan di atas taman bunga yach....sebuah padang edelweis. Kulihat rangga berdiri dan melambaikan tangan ke arahku. Akupun berlari dan menghampirinya lalu memeluknya erat-erat. Akupun merasa "aneh "tak sedikitpun merasakan sakit dan nyeri di kepalaku.
Jauh disana di ruangan putih itu semua menangis dan menangis karena siang itu "Arini Septia telah pergi untuk selamanya, sambil memeluk bunga edelweis setelah mendengar kematian kekasihnya "Rangga Dwi Juniatiyo” otaknya kembali mengalami pendarahan dan dokter sudah tak dapat lagi menyelamatkan nyawanya.
Kini segala penderitaan telah sirna, dan semuanya tak akan mendengar lagi tangis Arini tentang semua sakitnya. Dan semua orang tak akan pernah tau bahwa nan jauh disana, diantara Edelweis yang bermekaran mereka berlari dan menari tanpa takut lagi untuk berpisah. Kini mereka telah bahagia diantara bunga-bunga abadi itu. Bunga-bunga yang telah menjadi lambang cinta suci mereka juga Iambang suatu keabadian. Keabadian cinta. Cinta Rangga dan Arini
Edelweis bunga abadi yang tak akan pernah layu. Lambang keabadian cinta. Cintaku dan cintamu.




0 komentar:
Posting Komentar